Dunia Hitam Didi Nugrahadi
Meski bertetangga di Pamulang, saya baru mengenal Didi Nugrahadi (DN) pada 1995. Adalah Wienardi (wartawan Swa yang kemudian bergabung ke majalah Editor) yang mengenalkan saya dengan DN. Dua pangeran (baca: pengeran) Solo itu bertandang ke rumah saya. Kalau ditelusuri, perkenalan itulah yang sebenarnya menjadi titik awal dari kelahiran detikcom.
Singkat kata kami (Abdul Rahman (AR), Budiono Darsono (BDI), Didi Nugrahadi (DN) dan Yayan Sofyan (YS) akhirnya melahirkan detikcom pada 1998. Tanggal kelahirannya pas dengan tanggal lahir Yayan Sofyan, 9 Juli. Tepatnya dipas-paskan. Saya, AR dan YS adalah wartawan. Sedangkan bagi Pangeran Solo yang bernama DN, dunia kewartawan tentu sesuatu yang baru. Bergaul dengan kami, artinya DN mulai memasuki dunia hitam (baca: kriminal).
Dunia hitam (kriminal)? Ya. Tapi bukan lantaran DN ditugasi meliput kriminalitas. Lalu apa? Begini ceritanya. Suatu hari kami makan di Hotel Hilton. AR yang membayari. Dalam perjalanan pulang menuju markas kami di Lebakbulus DN mencak-mencak. “Ini kriminal,” kata DN. “Mahal sekali,” sergahnya.
Mahalnya ongkos makan di hotel itulah yang dicap DN sebagai tindakan kriminal. Maklumlah, Pangeran Solo itu terbiasa makan sego kucing dan tengkleng. Beberapa bulan kemudian, DN berubah. Ia mulai terbiasa keluar masuk hotel atau kafe-kafe yang tergolong mahal. DN sudah lupa dengan cap kriminalnya. “Kriminal ini,” begitu kenang DN setiap kali selesai makan di Hotel atau kafe. Dunia hitam memang bikin gayeng.
Saya dengar, DN kini masih mengarungi dunia hitam. Bukan keluyuran di hotel atau kafe. Sebab DN kini sedang puasa makan di tempat mahal. Ngirit, bisik teman bisnisnya. “Kalau sama istri dia emang ngirit,” begitu kata saya. Dunia hitam yang saya maksud ini, ya seperti komentar DN sendiri di blog saya, soal rambut. Rambut DN masih hitam tam. Kata Abi, rajin dicat.
Sedangkan saya, sudah keluar dari dunia hitam. Rambut sudah memutih. Saya tidak berani mengecat. Menurut fatwa Uztad Imam Suyono (mantan detikcom yang kini berbisnis sendiri) mengecat rambut menjadi hitam itu haram hukumnya. Kalau catnya merah, kuning atau putih, malah tidak apa apa. Akur.
Bagi saya, rambut kepala menjadi putih, tidak masalah. Oke saja. Yang saya senang, rambut di bagian lain masih hitam tam, tidak ikut memutih. Itu artinya, di bagian lain-lain itu masih normal dan Masih sering bersenang-senang. Betapa merisaukan kalau rambut di bagian lain yang vital itu memutih juga. Nah, apakah rambut DN di bagian lain masih hitam tam? Saya tidak tahu. Melihat sumrigahnya DN, saya kira dia masih berada di dunia hitam. Rambut putih di bagian lain bikin dag dig dug…!
Singkat kata kami (Abdul Rahman (AR), Budiono Darsono (BDI), Didi Nugrahadi (DN) dan Yayan Sofyan (YS) akhirnya melahirkan detikcom pada 1998. Tanggal kelahirannya pas dengan tanggal lahir Yayan Sofyan, 9 Juli. Tepatnya dipas-paskan. Saya, AR dan YS adalah wartawan. Sedangkan bagi Pangeran Solo yang bernama DN, dunia kewartawan tentu sesuatu yang baru. Bergaul dengan kami, artinya DN mulai memasuki dunia hitam (baca: kriminal).
Dunia hitam (kriminal)? Ya. Tapi bukan lantaran DN ditugasi meliput kriminalitas. Lalu apa? Begini ceritanya. Suatu hari kami makan di Hotel Hilton. AR yang membayari. Dalam perjalanan pulang menuju markas kami di Lebakbulus DN mencak-mencak. “Ini kriminal,” kata DN. “Mahal sekali,” sergahnya.
Mahalnya ongkos makan di hotel itulah yang dicap DN sebagai tindakan kriminal. Maklumlah, Pangeran Solo itu terbiasa makan sego kucing dan tengkleng. Beberapa bulan kemudian, DN berubah. Ia mulai terbiasa keluar masuk hotel atau kafe-kafe yang tergolong mahal. DN sudah lupa dengan cap kriminalnya. “Kriminal ini,” begitu kenang DN setiap kali selesai makan di Hotel atau kafe. Dunia hitam memang bikin gayeng.
Saya dengar, DN kini masih mengarungi dunia hitam. Bukan keluyuran di hotel atau kafe. Sebab DN kini sedang puasa makan di tempat mahal. Ngirit, bisik teman bisnisnya. “Kalau sama istri dia emang ngirit,” begitu kata saya. Dunia hitam yang saya maksud ini, ya seperti komentar DN sendiri di blog saya, soal rambut. Rambut DN masih hitam tam. Kata Abi, rajin dicat.
Sedangkan saya, sudah keluar dari dunia hitam. Rambut sudah memutih. Saya tidak berani mengecat. Menurut fatwa Uztad Imam Suyono (mantan detikcom yang kini berbisnis sendiri) mengecat rambut menjadi hitam itu haram hukumnya. Kalau catnya merah, kuning atau putih, malah tidak apa apa. Akur.
Bagi saya, rambut kepala menjadi putih, tidak masalah. Oke saja. Yang saya senang, rambut di bagian lain masih hitam tam, tidak ikut memutih. Itu artinya, di bagian lain-lain itu masih normal dan Masih sering bersenang-senang. Betapa merisaukan kalau rambut di bagian lain yang vital itu memutih juga. Nah, apakah rambut DN di bagian lain masih hitam tam? Saya tidak tahu. Melihat sumrigahnya DN, saya kira dia masih berada di dunia hitam. Rambut putih di bagian lain bikin dag dig dug…!
0 komentar:
Posting Komentar